Translate

Minggu, 08 Juli 2012

sayangi buah hati anda secara sehat


SERING kita dibuat heran, ada orang tua yang keren, anaknya malah “tidak jelas”.
Atau orang tua dengan kondisi ekonomi serba kekurangan, tapi anaknya pemboros dan bahkan pemalas.
Dalam ukuran ideal, tidak ada orang yang mau kejadiannya seperti itu, pun orang tua anak-anak tipe demikian. Tapi, nyatanya, kok bisa ada yang sampai begitu?   
Terlalu Mengikuti Insting
“Banyak teori parenting. Tentang cara mengasuh, mendidik, membesarkan, mengasihi. Sama banyaknya dengan rumusan tentang menjalin atau membina hubungan yang baik antara orang tua dan anak. Namun, ternyata tidak cukup banyak yang bisa dan mau mempraktikkannya seperti yang ada di ‘buku’,” buka Anggia Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis EFT (emotional freedom technique) di biro psikologi Westaria (www.westaria.com).
“Ketika bicara tentang hubungan orang tua-anak ini, ada faktor besar yang sering kemudian tidak dapat dijelaskan, yaitu faktor ‘rahiim’ (rahim) atau ‘kasih sayang’, yang secara ekstrem bisa dikatakan sebagai insting. Ini bisa mendobrak semua teori dan rumusan parenting tercanggih mana pun!” tegasnya.
Bukan berarti kasih sayang orang tua kepada anak tidak diperbolehkan. Namun, ketika kadarnya berlebihan, tentu tidak baik. Ibu kepada anak laki-lakinya atau ayah kepada anak perempuannya. Atau saat anak masih kecil, sedang sakit batuk pilek, tetap saja diberi permen dan es krim. Lalu saat anak beranjak besar, tetap saja disuapi atau dimandikan.
“Salah, jelas! Tapi, hampir sulit melihat kesalahan ini secara objektif. Aturan benar dan salah, dosa dan pahala pun sering bias saat dihadapkan pada hubungan orang tua dan anak. Semua atas nama kasih sayang yang telah Allah berikan dan anugerahkan antara orang tua kepada anaknya, bahkan sejak wujud anak masih berupa embrio dan janin. Dan ‘kesalahan’ ini kemudian mengakar, seiring perkembangan dan pertumbuhan anak dan orang tua itu sendiri,” papar Anggia.
Agar Kasih Sayang Tidak Semata Mengikuti Insting
Kasih sayang orang tua kepada anak yang terlalu mengikuti insting itu baik, tapi tidak sehat bagi perkembangan anak. Kesalahan dalam menyayangi, tidak boleh dibiarkan berlarut. “Atas nama kasih sayang dan cinta yang sesungguhnya -- yang berdampak baik pada anak, kita harus semampunya meminimalkan kondisi ini,” ajak Anggia. “Tidak mudah, tapi beberapa alasan berikut ini mungkin mampu menggugah kesadaran kita semua, untuk sedikit mengerem dan mengendalikan kasih sayang luar biasa kita kepada anak-anak,” pungkasnya.
01. “Hidup tidak selalu memberi es krim”
Es krim yang rasanya enak dan manis, mengibaratkan kesenangan. Tapi, dalam kenyataan hidup, kita tidak selalu bisa mendapatkannya. Tidak semua yang kita inginkan dan harapkan tercapai dan terlaksana. Walau Allah mengatakan “menunda” atau “menggantikan di lain waktu”, tetap artinya tidak akan sama persis antara keinginan dan yang didapatkan. Anak yang terlalu dipenuhi kasih sayang berlebihan akan menjadi rapuh, tidak siap kecewa, saat keinginannya tidak selalu terkabul. Ketidakmampuan menghadapi kekecewaan bisa berakibat fatal, sampai kepada terjadinya depresi.
02. “Peluk untuk mati, pukul untuk hidup”
Pepatah ini menggambarkan, kasih sayang yang cenderung berlebih (diasosiasikan dengan “peluk”), hanya akan menjerumuskan anak kelak mereka dewasa. Invalid, istilah yang sering digunakan untuk individu-individu yang cenderung tidak berguna atau tidak berfungsi. Tidak hanya di tengah masyarakat, tapi juga untuk urusan pribadi sekalipun. Cengeng, rapuh, tidak asertif, manja, egois, impulsif, adalah contoh sifat yang paling mungkin muncul. Sementara asosiasi “pukul” adalah mendidik keras dengan disiplin, penegakan aturan dan norma yang komplet (agama, hukum, norma masyarakat), agar anak terbentuk menjadi individu yang kuat dan tidak melempem serta asertif, mandiri, dan memiliki empati yang tinggi. Semua sifat ini diyakini bisa menjadi bekal anak dalam menghadapi kehidupan dengan segala permasalahan yang nyata.
03. “Kita tidak akan selamanya ada untuk mereka”
Satu hal yang harus sangat disadari dan dipahami orang tua, sebagai manusia, kita selalu dihadapkan pada keterbatasan. Sekarang kaya, nanti miskin. Sekarang sehat, nanti sakit. Sekarang hidup, nanti mati. Bukan dipisahkan kematian pun, suatu saat anak harus menemukan dan menjalani hidupnya sendiri. Anak pada akhirnya akan menjadi individu dewasa yang harus berlari dengan kakinya sendiri. Hal ini tidak akan terjadi, jika orang tua terlalu berlebihan menyayangi anak atau “selalu ada” untuk mereka, seolah anak yang akan lebih dulu mati. Jangan sampai!

Tidak ada komentar: