Translate

Rabu, 17 Oktober 2012

Memberi Itu Menyenangkan




DAME Stephanie Shirley tiba di London umur lima tahun, hanya beberapa minggu sebelum Perang Dunia II pecah. Dia adalah satu dari ribuan anak Yahudi yang melarikan diri dari Nazi dan datang ke Inggris sebagai bagian dari Kindertransport atau pengungsian anak-anak dan dibesarkan oleh orang tua asuh.

Setelah dewasa dan sempat bekerja sebagai pegawai negeri, tahun 1962 ia mendirikan perusahaan pembuat peranti lunak Freelance Programmer yang kemudian dikenal sebagai FI Group dan Xansa. Apa yang dilakukannya termasuk langka di kalangan perempuan tahun 1960-an. Perusahaannya sukses dan Shirley memiliki kekayaan sekitar 150 juta pound.

Tapi, sebagian besar uang yang dia kumpulkan susah payah itu ia berikan ke banyak orang. “Saya tahu kenapa saya memberi. Saya sudah mendapat banyak sekali, apalagi yang bisa saya lakukan selain memberi?," katanya.

Selain itu, dia juga punya alasan lebih personal yang mendorongnya untuk bederma. Mendiang putranya, Giles, adalah penderita autisme parah. Dari situ, Shirley mulai menyumbang untuk National Austistic Society dan mendirikan Shirley Foundation, membiayai banyak proyek, terutama yang berhubungan dengan autisme.

Salah satunya adalah mendirikan Prior‘s Court School di Thatcham, Berkshire, sekolah khusus untuk siswa autis. Walaupun ia sudah tidak banyak terlibat, Shirley bangga dengan perkembangan sekolah itu. “Kami sudah menghasilkan lulusan dari usia 16. Sekarang kami membuka pusat pembelajaran untuk orang dewasa, itu sangat berdampak," kata dia.

Ada pula, Jeff Raikes mantan eksekutif senior Microsoft. Sejak pensiun tahun 2008, ia menjadi kepala eksekutif dari Yayasan Gates dan mendirikan yayasan sendiri dengan istrinya, Tricia.

Satu hal yang mempengaruhinya adalah pertemuannya dengan investor Warren Buffett, yang terkenal dermawan, tahun 1990-an. Kedua, pengalaman putrinya, Michaela, di sekolah. Macam-macam tantangan yang dihadapi Michaela, mendorong Raikes mendirikan yayasan yang membantu anak-anak melewati masa transisi, membangun pola pikir dan strategi belajar mereka supaya berhasil dalam pendidikan dan pekerjaan selanjutnya.

Keinginan orang-orang superkaya untuk membuat semacam dampak sosial bukanlah sebuah fenomena baru, menurut Jen Shang, psikolog filantropi di Universitas Indiana dan Universitas Bristol. Yang baru adalah bagaimana mereka peduli tentang bagaimana menciptakan dampak sosial itu, kata Shang.
“Banyak orang mengumpulkan kekayaan mereka sendiri, bukan dari warisan," kata Shang.

“Lalu mereka melihat suatu masalah di masyarakat dan benar-benar ingin memecahkannya. Mereka menerapkan kemampuan memecahkan masalah yang menjadi kunci kesuksesan bisnis pada kegiatan filantropi."

Raikes, misalnya, tumbuh di sebuah peternakan di Nebraska, dia belajar tentang “disiplin dan pelaksanaan". Di Microsoft dia belajar tentang “strategi dan visi". Empat elemen itu katanya penting dalam bisnis dan filantropi.

Shang menambahkan, yang juga menarik adalah kebahagiaan besar yang dirasakan si kaya dengan memberi. “Kalau Anda mendengar mereka berbicara tentang filantropi mereka, hampir seperti sedang bicara tentang proyek."

Seperti yang dikatakan Shirley, “Bagi saya memberi sangat menyenangkan. Saya merasa jauh lebih bahagia saat memberi dibanding ketika saya belanja. Saya mendapat lebih dari yang saya berikan, kesenangan, kualitas hidup, persahabatan, kepuasan."

Tidak ada komentar: